Header image

Wednesday, May 16, 2007

Ingatan Tentang Mei 1998

Bulan Mei selalu mengigatkan saya pada kejadian sembilan tahun yang lalu. Aksi-aksi besar mahasiswa, kerusuhan dimana-mana, juga kejadian kejatuhan Presiden Soeharto yang begitu singkat itu. Saya masih jadi mahasiswa saat rentetan kejadian itu. Suasananya begitu heroik, juga mencekam.


Foto-foto itu jumlahnya lebih dari lima puluhan. Isinya melulu soal aksi-aksi mahasiwa saat menumbangkan Soeharta pada Mei 1998. Ada foto yang memperlihatkan saat mahasiswa bereaksi di Semanggi, juga saat mahasiswa mengeruduk DPR. Heroik baget deh.

Berbagai pose saat mahasiswa melakukan aksi turunkan Soeharto dipajang bersambung. Ada foto yang memperlihatkan semangat mendidih. Bentorkan dengan aparat hingga tebar-tebar bunga. Foto keempat mahasiswa yang gugur saat aksi di Semangi dan Trisakti juga dipasang.

Foto yang mengambarkan saat Jakarta di landa kerusuhan juga ada. Ada orang-orang menjarah, membakar mobil, pertokoan, gedung. Dan, ih.. mayat-mayat yang hangus terbakar. Ngeri melihatnya.

Anda bisa melihat foto-foto itu di Taman Ismail Marsuki. Sekelompok mahasiswa sengaja mengelar foto-foto itu untuk mengingatkan kembali tentang reformasi, tentang aksi heroik mahasiswa pada Mei 1998. Kata mereka, reformasi tak sesuai dengan cita-cita mahasiswa. Banyak Korupsi masih mengila, pejabat negara banyak yang bejad. Intinya orang harus diingatkan kembali.

Bulan Mei selalu mengigatkan saya pada kejadian sembilan tahun yang lalu. Aksi-aksi besar mahasiswa, kerusuhan dimana-mana, juga kejadian kejatuhan Presiden Soeharto yang begitu singkat itu. Saya masih jadi mahasiswa UGM saat rentetan kejadian itu. Suasananya begitu heroik, juga mencekam.

Semula adalah kejatuan rupiah yang luar biasa dari 1 $US nilainya cuma 2000-an melonjak naik menembus angka Rp. 9000. Saya sendiri tak tahu persis apa pengaruhnya kenaikan melorotnya nilai rupiah dengan dolar bagi kehidupan saya sebelumnya. Yang saya rasakan, tiba-tiba harga indomie melejit tinggi, gula jadi mahal, harga susu tak terkira.

Barang-barang kebutuhan pokok hilang di pasaran. Sangat sulit mendapatkan indomie atu gula di toko-toko. Banyak orang memborong kebutuhan pokok itu karena takut ga kebagian. Saya yang hanya punya uang recehan cuma nesu-nesu karena ga kebagian. Ya ya karena saya juga ga punya uang lebih. Tapi saya masih beruntung bisa beli satu dus indomie hasil patungan dengan temenku.

Saya tak suka susu jadi saya tak memburu susu. Tapi temen-temen saya mengeluh soal harga susu yang terlalu mahal. Mungkin kebiasaan sedari kecil ya.. aku kan orang desa yang biasanya minum susu cuma pada bulan puasa. Biasanya bapakku yang beli, khusus buat menyambut bulan puasa. Katanya, biar kuat puasanya.

Pada Mei itu hampir setiap hari di kampus UGM terjadi aksi mahasiswa. Paling sering mereka memulai aksinya di Bunderan UGM lalu bergerak mengitari kampus dan berakhir di depan Balairung. Saya paling suka kalau aksi hari Jum’at. Aksi di hari ini terasa mengang banget karena dilakukan persis ketika orang-orang keluar masjid bubar jadi suasananya langsung tegang.

Pernah suatu hari aksi berakhir dengan kericuhan. Ratusan polisi dengan bersenjata lengkap masuk kampus dari berbagai arah membubarkan aksi mahasiswa. Dari arah Jalan Cik Ditiro, di depan Bunderan UGM satu peleton polisi dengan tameng memburu mahasiswa ke arah dalam kampus. Dari arah Jalan Kaliurang yang membelah kampus, ada berikade motor polisi mengarahkan tembakan beruntun ke dalam kampus tepat di depan Graha Saba Pramana. Saya lari sekencang-kencangnya sambil sesekali tiarap dan merunduk menghindari tembakan. Saya tak peduli lagi apakah saya akan mati tertembak seperti mahasiswa Trisakti di Jakarta atau saya akan tertangkap. Saya mendengar puluhan polisi juga sudah menghadang dari arah selokan utara kampus. Tapi saya tak peduli, saya terus lari lari ke arah utara keluar kampus. Syukurlah saya keluar kampus dengan selamat dan terus lari memasuki gang-gangdeng kecil menuju kost. Saat melewati gang-gang itu, banyak kayu-kayu dipasang ditengah gang. Saya berpikir keributan yang terjadi di kampus tadi sudah menjalar ke luar kampus.

Di kost saya masih tengang bukan main. Saya dan temen satu kost mengunci rumah. Sesekali saya mendengar mahasiswa yang lari terbirit-biririt menyelamatkan diri. Malam hari suasana masih tegang. Kata teman satu kost puluhan polisi dengan pakaian preman menyisir perkampungan sekitar kost. Saya memang sempat melihat empat orang berperawakan tegap melintas di depan kost dari bilik kaca nako kamar saya. Saya berdoa semoga mereka tak mengedor kost yang saya tempati atau masuk ke kamar saya dan mengasak-ngasak kamar saya yang penuh dengan selebaran aksi yang saya pasang di dinding kamar.

Ingatan-ingatan itulah yang saya rasakan ketika melihat foto-foto di TIM sore itu.
Melihat kembali foto-foto itu hati saya miris, seperti disayat-sayat. Saya ingin menangis. haru, tapi juga mangkel. Saya jadi sadar kejadian yang saya alami pada Mei sembilan tahun lalu merupakan sejarah yang tak akan pernah aku lupakan.

Read More......

Wednesday, May 2, 2007

Mengakhiri Krisis Hutan Indonesia

Kongres Kehutanan Indonesia kembali digelar di tengah situasi kehutanan yang sedang mengalami krisis hebat. Sekira 2,8 juta hektar hutan hilang dalam setahun. (Kerusakan ini dianggap paling parah di planet bumi). Illegal logging terjadi hampir di seluruh kawasan hutan Indonesia, tanpa henti.




Tak kurang dari 51 juta meter kubik kayu bulat tiap tahun dihasilkan dari kegiatan illegal logging. Tiap tahun diperkirakan lebih dari 10 juta meter kubik kayu bulat dan atau kayu gergajian ukuran besar diselundupkan ke luar negeri.

Pembalakan kayu, perambahan hutan, pemanfaatan hutan untuk sektor lain dan kebakaran hutan telah menyebabkan kerusakan hutan Indonesia yang amat parah.

Kinerja ekonomi industri kehutanan berada pada tingkat paling buruk. Indonesia kehilangan devisa 10 milyar dari sektor kehutanan. Industri kehutanan berada pada titik nadir. Hingga pertengahan 2006, sekira setengah dari industri kehutanan bangkrut dan harus merumahkan ribuan karyawannya. 200 industri HPH gulung tikar. Dua pertiga industri HTI harus menghentikan kegiatannya. Keduanya meninggalkan lebih dari 20 juta hektar kawasan hutan atau seluas lebih dari ukuran pulau jawa tak bertuan. Kawasan ini kini menjadi manakan empuk bagi para pembalakan liar.

Kongres yang dihadiri lebih dari seribu orang itu pun menyatakan berkomitmenya untuk mengakhiri mimpi buruk itu. ”Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus memburuk tidak dapat didiamkan,” kata Ketua Umum KKI IV, Agus Setiyarso.

Sekali lagi, seperti pada kongres kehutanan Indonesia ketiga, lima tahun yang lalu, sebuah kesepahaman tentang hutan indonesia dirumuskan sebagai komitmen bersama dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Indonesia.

Tapi lagi-lagi banyak yang pesimis. Cita-cita itu terlalu berat untuk diwujudkan.

Limapuluh tahun yang lalu, kongres kehutanan pertama dalam sejarah Indonesia di gelar di Bandung. Kongres ini digelar di tengah kondisi sosial politk yang tidak menentu.

Zaman itu, kita tahu, Indonesia memasuki masa-masa transisi yang tidak mengenakkan. Setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan terjadi pemindahan aset-aset dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia, bangsa ini belum siap betul mengurus dirinya sendiri. Ekonomi masih terseok-seok. Kehidupan sosial-politik juga kurang stabil.

Meski rakyat kurang makan, nasionalisme yang dibawa Presiden Soekarno disambut antusias rakyat Indonesia. Soekarno membenci kebijakan-kebijakan kapitalis ala Amerika dan Inggris. Kita pun bisa melihat dalam kongres pertama itu semangat nasionalisme hutan Indonesia muncul dengan semangat mengebu-gebu.

Nasionalisme hutan Indonesia kemudian menjadi keputusan penting dalam kongres itu. Bahwa industri kehutanan harus mengutamakan modal nasinal. Monopoli asing harus dilibas. Wakil Presiden pertama, Muhammad Hatta pernah menyinggung soal ini dalam sebuah newsletter. Hatta menulis begini :

” Orang-orang sering tidak menginsyafi bahwa hutan itu adalah harta nasional yang harus dijadikan kapital sebagai aset hidup bangsa kita dan turunan di masa mendatang.”

Kongres kehutanan Indonesia pertama digagas Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan (PPAK). Ide bikin kongres muncul saat mereka kongko-kongko di Bogor. Mereka menyakini hutan Indonesia saat itu sudah dalam kondisi yang parah, terutama hutan di Pulau Jawa dan Madura yang terus rusak dari tahun ke tahun. ”Ada gejala pemusnahan hutan di Djawa dan Madura,” kata. Ia menyebut gerakan serabotan hutan atau Clandestience Ontginning adalah biang keladi dari kerusakan hutan di Jawa dan Madura. Meski tidak sepadat sekarang, tapi sektor kehutanan yang kala itu masih terpusat di kedua wilayah ini menjadikan Clandestience Ontginning sebagai masalah besar. Tapi perang yang berlangsung puluhan tahun juga ikut menimbulkan kerusakan hutan yang parah.

Sarbuki, sebuah organisasi buruh kehutanan punya peran besar dalam kongres pertama ini. Selain dipercaya menjadi penyelenggara kongres, mereka punya andil besar dalam perumusan keputusan-keputusan penting kongres. Jika Anda sempat membuka dokumen kongres pertama, keputusan-keputusan kongres sangat berjiwa kerakyatan

Kongres pertama itu menyatakan bahwa persoalan kehutanan tak bisa diselesaikan hanya oleh Djawatan Kehutanan, lembaga resmi yang mengelola hutan. Mereka menyakini persoalan hutan akan bisa selesai kalau diselesaikan bersama. Ini persis seperti semangat yang muncul sekarang, saat orang-orang lateh ngomong multipihak

Di kongres pertama itu wacana desenteralisasi juga muncul. sesuatu yang sekarang marak dibicarakan.

Pada 1991 Kongres kehutanan indonesia yang kedua kembali digelar. Kongres ini digelar pada saat sektor kehutanan sedang naik daun. Industri kehutanan menjadi primadona setelah m

Ditengah hiruk-pikuk reformasi, pada tahun 2001 kongres kehutanan yang ketiga digelar. Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998 membawa segalanya berubah. Pengelolaan hutan di masa Orde Baru dianggap keliru, penuh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan hanya menguntungkan segelintir orang yang berada lingkaran pusat kekuasaan. Sementara masyarakat lokal sekitar hutan justru makin tertinggal, hak-hak mereka atas hutan tidak diakui negara. Di kawasan-kawasan hutan, konflik sosial marak.

Lebih seribu orang hadir hingga Aula besar Maggala Wanabakti penuh sesak. Mereka rata-rata datang membawa semangat perubahan, juga perlawanan. Bahwa paradigma kehutanan Indonesia harus berubah. Semua praktek, nepotisme, korupsi dan kolusi (NKK) yang pernah terjadi pada masa orde baru harus ditinggalkan.

Kelompok-kelompok pembela masyarakat lokal menekan pemerintah agar paradigma kehutanan indonesia bukan lagi sentralistik ala Orde Baru, tapi pengelolaaan hutan yang lebih memihak kepada hak-hak masyarakat lokal. Mereka ingat apa yang sudah terjadi pada 1978, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia VIII. Forest for People yang digagas dalam kongres itu dianggap masih relevan di era reformasi. Kongres itu memang merumuskan perubahan paradigma kehutanan Indonesia, tapi beberapa diantara mereka yang pro masyarakat lokal justru kecewa.

Dan kini ketika mereka kembali bikin kongres, kita tak pernah tahu, seperti apa wajah hutan kita di masa depan?. Ya, cita-cita mewujudkan hutan lestari memang selalu ada. Dan kali ini tampaknya akan dilakukan lebih kongret oleh sebuah lembaga yang terbentuk di kongres : Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

Publik tampaknya sudah lelah dengan persoalan kehutanan yang tak kunjung selesai. Kepercayaan mereka pada pemerintah juga turun. Dan DKN-lah yang dianggap bisa memecah kebekuan persoalan-persoalan kehutanan di Indonesia. Di kongres itu, orang-orang memandatkan DKN (lembaga di luar pemerintah yang mendapat legitimasi dari publik kehutanan) untuk menjembatani berbagai kepentingan dalam pembangunan kehutanan.

Setiap orang boleh mengadu, setiap orang boleh mengontrol. DKN adalah lembaga berbasis konstituen. Lembaga yang dibentuk oleh orang-orang yang terlibat dalam pembagunan kehutanan. Kepada DKN, Anda boleh mengadu ketika Anda merasa dirugikan atas keterlibatan Anda dalam pengelolaan hutan. Dan menjadi tugas DKN untuk menjadi jembatan penyelesaian atas permasalahan yang timbul.

Tapi tampaknya hal itu hanya sebagain kecil tugas DKN.

Sungguh, DKN memegang tugas yang amat berat. DKN merupakan lembaga yang diamanai tugas menjalankan sebuah dokumen bernama Garis-garis besar haluan kehutanan (GBHK). Lembaga ini diminta ikut memperbaiki tata pemerintahan kehutanan yang kini amburadul, mengentaskan kemiskinan sekitar hutan, menumbuhkan ekonomi kehutanan yang lagi lesu-lesunya, belum lagi memikirkan pengembangan layakan-layanan jasa lingkungan atas kekayaan hutan Indonesia.

”DKN telah menutup ”lubang” yang selama ini menganga dalam organisasi pengelolaan hutan Indonesia, ” kata hariadi Kartodiharjo, ketua DKN.

Kini setelah kongres berakhir, semua orang menanti gebrakan DKN dalam menutup lubang-lubang persoalan kehutanan itu.


Read More......